KH Yahya Cholil Staquf. (Foto: Puji) |
RAMADHAN selalu menjadi yang istimewa bagi KH Yahya Cholil Staquf atau yang akrab disebut Gus Yahya. Seperti tahun lalu, Ramadhan kali ini, pun tak dilewatkannya begitu saja. Bahkan, sepanjang Ramadhan ini, sengaja ia tak menerima jadwal ke luar pesantren.
Ia justru memilih asyik mengaji bersama para santri baik santri pasan (santri yang datang hanya pada bulan Ramadhan, red.) maupun santri pondok pesantren yang diasuhnya, Pondok Pesantren Raudlatut Thalibien, Leteh, Rembang.
Mantan juru bicara presiden era Gus Dur tersebut secara khusus membawakan kitab Mizanul Amal milik Imam Ghazali di pengajian usai salat tarawih di bulan Ramadhan tahun ini.
Ditemui suararembang di kediamannya, Jalan Bisri Mustofa, Kelurahan Leteh, Kecamatan Rembang, Ahad (22/7), putra pertama almaghfurlah KH M CHolil Bisri itu memaparkan sekelumit isi dari kitab tersebut. Menurutnya, kitab tersebut mengupas hubungan antara ibadah fisik dengan dimensi spiritualnya.
Lebih lanjut juga dipaparkan dalam kitab itu bahwa agama tidak hanya terkait dengan amal fisik, tetapi juga menyangkut pemahaman kognitif (akal, red.) penganutnya.
“Bahwa selain memelihara fisik, perlu ada juga upaya memelihara ruh atau jiwa. Itu sedikit pembelajaran dari kitab Mizanul Amal,” terang dia.
Gus Yahya mencontohkan, setiap mereka yang belajar tidaklah cukup dengan mencari pemahaman akal saja, tetapi pencerahan atas rohaninya pun diperlukan.
“Seperti puasa yang tidak sekadar amal fisik. Sebab puasa yang merupakan ibadah tersembunyi dan hubungannya langsung kepada Tuhan mendidik seseorang kepada ketakwaan,” jelasnya.
Gus Yahya juga menjelaskan, puasa merupakan satu-satunya amalan yang bermakna “tidak melakukan”. Tidak melakukan makan, minum, hubungan suami istri, dan hal lain yang membatalkan puasa.
“Tidak seperti salat yang berarti melakukan dan zakat yang juga berati melakukan. Karena itulah puasa merupakan ibadah rahasia yang ganjarannya ditentukan sendiri oleh Allah,” tuturnya.
Karena puasa merupakan ibadah rahasia hamba kepada Allah, kata Gus Yahya berpesan, hendaknya setiap kita tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya di bulan ini.
“Kalau soal kemaksiatan, sudah mesti ada. Tidak hanya di bulan Ramadhan. Di bulan lain juga. Hanya, kemaksiatan itu bergantung kita. Apabila kita beribadah secara sungguh-sungguh di bulan Ramadhan, tentu tidak ada di antara kita yang berangkat ke tempat maksiat dan berbuat maksiat,” tegas dia.
Terkait warung yang masih membuka jasa di bulan Ramadhan, Gus Yahya menanggapinya dengan tutur diplomatis. “Tidak ada hukum haram membuka warung di bulan Ramadhan. Apalagi ada sejumlah umat Islam yang tidak puasa, seperti musyafir dan perempuan yang datang haid. Kalau semua warung tutup, terus bagaimana. Jadi repot kalau semua warung tutup,” ujarnya.
Gus Yahya berharap, puasa Ramadhan dilakukan dengan tidak sekadar menahan makan dan minum serta berhubungan seks, tetapi juga menahan hawa nafsu.
“Kriteria minimal puasa memang tidak memasukkan apapun ke rongga tubuh, namun jika kita menginginkan masuk ke ‘track’ meningkatkan kualitas rohaniah, maka caranya adalah membiasakan diri menahan hawa nafsu,” paparnya.
Di akhir kesempatan, Gus Yahya menyebutkan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist qudsi, semua kebaikan itu “banderol” pahalanya 10 kali lipat, kecuali puasa.
“Puasa itu khusus untuk-Ku (Allah). Tuhan akan memberikan pahala semau-maunya. Semakin rida Allah, semakin besar pahalanya,” pungkasnya mengutip isi sebuah hadist. (Puji)uji)
Tinggalkan Balasan